KM Bali 1-Sebenarnya saya sudah mulai enggan menulis tentang Puasa Ramadhan ini, apalagi di sepuluh malam terahir saat setiap yang merindu bertemu laylatul qadar tentu tak akan menyiakan waktu yang datang hanya sekali dalam setahun. Namun karena banyaknya permintaan melalui Short Message Service (SMS), Facebook, twitter, twoo, foursquare dan sejumlah media sosial lainnya, maka saya memutuskan untuk menulis lagi.
Mengapa mukaddimah diatas saya kemukakan? Ini kesengajaan yang terencana dan sistemik untuk memberi kesan angkuh bin sombong, seolah memang tulisan saya sangat dibutuhkan. GeEr sendiri.
Keengganan saya cukup beralasan sebab itu anugerah yang dimanfaatkan, tapi dasar mereka itu tak ngerti kalau saya sudah malas… sudah malas… dan malas, titik.
Mereka itu menyuruh saya menulis tentang kemerdekaan yang disandingkan dengan makna Puasa Ramadhan. Meski saya tahu maksudnya bahwa ini adalah bulan Ramadhan yang diwajibkan Puasa atau bahasa arabnya shaum – artinya menahan diri. Disaat bersamaan adalah bulan Agustus yang ada tanggal 17nya dan kita tahu itu adalah hari kemerdekaan, hari proklamasi kita. Coba ayo… apa ndak gila itu…!!!
Bagaimana tidak? Lha saya ini kan memang orang yang tak pernah merdeka kok. Sebab saya selalu diminta oleh diri sendiri, orang lain atau keadaan yang memaksa saya terpaksa untuk dipaksa melakukan sesuatu yang sesungguhnya saya tak suka. Bukankah itu merupakan bentuk ketidakmerdekaan?
Padahal yang namanya merdeka itu kan suatu keadaan yang tak membuat seseorang berada pada situasi memaksa, dipaksa dan terpaksa. Betul tidak?
Terus saya diminta agar tulisan ini diarahkan kepada mereka yang tak pernah merasa memberikan kemerdekaan dinegeri yang sudah merdeka ini. Ada juga yang meminta agar tulisan ini ditujukan pada mereka para pengambil kebijakan yang sudah tak bijak. Para pembuat regulasi yang tersandung akibat regulasi yang dibuatnya. Para pengetuk palu keadilan yang sudah tak adil. Para Pelindung Masyarakat dengan semangatnya yang berbunyi ‘Tekadku Pengabdian Terbaik’ namun hanya sebatas tekad saja. Para Jaksa Penyidik yang ternyata banyak yang sudah dan sedang disidik.
Apa iya saya harus menulis itu? Apakah penulis bisa diarahkan? Bisa dipaksa? Bisa disogok? Bisa disumbat mulutnya? Bisa diancam kalau tak mengikuti selera pengancam? dan sejumlah istilah lainnya yang membuat posisi penulis menjadi tak merdeka?
Apakah dengan alasan kemerdekaan lantas sebagai penulis saya bebas menulis caci maki? Sumpah serapah? Penghinaan? Menyudutkan satu dengan lainnya? Adu domba antar sesama? Atau apa yang saya mau dengan mengemasnya menjadi sebuah tulisan santun seolah tak mencaci, sopan seolah tak memaki, beradab seolah tak menghina, berimbang seolah tak mengadu domba? Yang membuat orang lain tak merdeka?
Apalagi tulisan ini harus dikaitkan dengan Puasa Ramadhan. Ini kan sesuatu yang sakral, ibadah yang menjanjikan segudang ampunan Tuhan dan kasih sayang Allah. Ibadah yang hanya untukNya dan Dia langsung yang membalasnya – Ashshaumuly wa ana ajziibih. Didambakan oleh manusia bermental pejuang. Manusia yang jika diperintah olehNya tak banyak cincong. Manusia yang ihlas menjalankan kemerdekaan hidupnya. Tapi saya tetap menahan diri.
Padahal kebanyakan yang saya jumpai adalah orang lapar daripada orang puasa. Padahal kebanyakan yang saya jumpai adalah orang yang suka ngamuk daripada orang yang teduh hatinya. Padahal kebanyakan saya jumpai adalah orang sangar daripada yang ramah wajahnya.
Padahal Kebanyakan yang saya jumpai adalah orang rakus daripada yang gemar bersadakah. Padahal kebanyakan orang serakah daripada yang gemar berbagi. Padahal kebanyakan orang merasa pintar, tinggi hati, kepalanya mendongak, yang lainnya salah hanya dia yang suci. Daripada yang pintar merasa, rendah hati dan selalu berprasangka baik.
Padahal masih banyak yang ingin saya tulis dari suara rintihan sahabat yang kelaparan, saudara yang sengaja dilaparkan, dimiskinkan, dipinggirkan oleh system Abu Jahal modern. Padahal masih banyak teman yang tak memperoleh pekerjaan ahirnya terpaksa mencuri demi sesuap nasi anak isterinya. Teman lainnya yang tak kunjung diangkat menjadi pejabat padahal ia sudah terlibat membantu kawannya menjadi kepala daerah pada pemilukada yang lalu. Tapi saya tetap menahan diri.
Padahal masih banyak yang saya harus padahalkan dan harus saya tuliskan dari kawan saya yang pengusaha dan belum juga dapat proyek, yang sopir dan belum dapat penumpang, yang pedagang dan selalu merugi, yang sakit hati karena dikalahkan, yang menang tapi sombong, yang bisa berbagi hanya untuk kelompoknya, yang ngerumpi karena belum dapat bagian. Tapi saya tetap menahan diri.
Namun karena malam bergerak larut, sahur sudah menjelang, mata mengantuk dan saya harus menahan diri, ahirnya saya akhiri tulisan yang tak merdeka ini.
Kemudian dengan kerendahan hati saya meminta kepada semua yang membaca tulisan ini, untuk membimbing dan menolong agar bisa menyuarakan kerinduan saya di bulan Ramadhan dan bulan Agustus ini untuk berkata bahwa, berpuasalah sepanjang tahun sebab merdeka itu ada jika kita saling menahan diri. [lombokpost 15/08]
Posting Komentar