KM Bali 1 Dompu - Proyek rehabilitasi Dam Sori paranggi tahun 2022 ini bukan hanya mencuatkan isu suap-menyuap, namun di balik skandal ini, justru menguak sederet fakta.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021, Taufan Alfathir S. Sos, salah seorang yang mengaku telah melaporkan kasus dugaan penyimpangan itu ke APH menyebutkan bahwa proyek rehabilitasi Dam Sori paranggi dan Rehabilitasi Sori Na'a di Kecematan Pekat, Kabupaten Dompu, NTB tahun 2020 lalu menyisakan persoalan.
Dia mengungkapkan bahwa pekerjaan rehabilitasi Dam Sori paranggi tahun 2020 dengan total anggaran sekitar Rp 2,1 milyar melalui tender dengan nomor surat perjanjian kontrak : 012/Kontrak/KPA/ DISORIPARANGGI/DPUPR/2020 tanggal 27 Oktober. Waktu pelaksanaan pekerjaan selama 65 hari kalender. Terhitung sejak 27 Oktober hingga 30 Desember 2020 itu belum tuntas dikerjakan. Akhirnya pihak perusahaan diberikan kesempatan perpanjang waktu atau addendum selama 50 hari kalender. Waktu pekerjaan addendum ini terhitung sejak 30 Desember sampai tanggal 18 februari tahun 2021.
"Addendum ini telah dituangkan melalui kontrak dengan nomor : 021/add. SPMK/KPA/DI SORIPARANGGI/DPUPR/2020 tanggal 30 Desember, 2020," uraiannya.
Dikatakan Taufan, setelah diberikan addendum pekerjaan fisik rehabilitas Dam Sori paranggi ternyata belum selesai. Dari total anggaran itu, lanjut dia, hanya terpakai sekitar 42, 63 persen sehingga pekerjaan ini masih ada sisanya sekitar 57,37 persen atau anggarannya lebih dari 1 milyar.
"Sisa pekerjaan inilah yang seharusnya di tender ulang dengan menggunakan anggaran sisa, bukan malah menaikkan pagu anggaran menjadi 5,6 milyar melalui APBD tahun 2022," bebernya, Senin (25/07/2022) lalu.
Lanjut dia, pekerjaan rehabilitas Dam Sori Na'a melalui tender dengan perjanjian kontrak nomor : 013/kontrak/KPA/DISORINA'A/ DPUPR/2020 tanggal 27 Oktober. Dengan nilai kontrak sekitar 1,8 milyar.
Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan ini selama 65 hari kalender. Terhitung sejak tanggal 27 Oktober hingga 30 Desember 2020. Namun pekerjaan ini juga belum tuntas dikerjakan. Akhirnya diberikan addendum selam 50 hari kalender. Terhitung sejak 30 Desember 2020 hingga 18 februari tahun 2021.
"Addendum Sori Na'a melalui nomor kontrak : 020/add.SPMK/KPA/DI SORINA'A/DPUPR/2020 tanggal 30 Desember," terangnya.
Untuk proyek Sori Na'a, Taufan membeberkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 4 februari 2021. Dari keterangan PPTK dan konsultan pengawas diketahui bahwa sampai dengan akhir jangka waktu pemberian kesempatan tanggal 18 februari 2021 pekerjaan belum selesai.
"Untuk Sori Na'a fisiknya mereka hanya mengerjakan sekitar 52,2 persen. Sementara masih ada sisa sekitar 47, 70 persen dari total anggaran itu," ungkapnya.
Tidak hanya itu, berdasarkan penelusurannya, Taufan membeberkan bahwa pembayar denda dari keterlambatan pekerjaan dua paket proyek tersebut diketahui hingga saat ini belum terbayar. Setelah dilakukan pengecekan di Bappenda Dompu terkait register pembayar denda itu ternyata tidak ada.
"Pekerjaan sori Na'a dendanya sekitar 43 juta. Dendanya Sori paranggi sekitar 61 juta hingga saat ini belum dibayar," Terangnya.
Selain persoalan ini, menurutnya anggaran yang tidak digunakan tahun anggaran 2021 seharusnya menjadi silfa, yang Kemudian di kucurkan di tahun 2022.
"Di akhir tahun 2021 semua anggaran yang tidak digunakan, maka uang itu wajib dikembalikan ke Negara dalam bentuk Silfa. " bebernya.
Dia kembali menegaskan, untuk anggaran sisa pekerjaan yang dikenakan addendum dua paket proyek tersebut seharusnya menjadi silfa. Tidak hanya itu, paket proyek Sori paranggi dan Sori Na'a yang tidak jadi dikerjakan dan sempat ditenderkan di APBD 2021 juga seharusnya menjadi anggaran silfa. Dia kembali mempertanyakan sisa anggaran dua pekerjaan itu.
"Apakah proyek ditenderkan tahun 2021 masuk silpa atau tidak? Jika di silpa kan mana? Ini kan menyangkut uang negara. Namun faktanya, silpa itu tidak ada. Jika ditelusuri nota APBD tahun 2022 ini, Silpanya nihil, otomatis silpanya di Dinas PUPR juga nihil", tuturnya.
Dari rentetan kasus ini dia menyayangkan lemahnya fungsi kontrol pihak legislator terhadap kebijakan Eksekutif. Dia menilai ada permufakatan jahat antar oknum di Dinas PUPR dan ULP pada saat proses penenderan proyek ini dilakukan. Karena tidak ada keterbukaan informasi publik.
"Kasus ini saya sudah melaporkan ke kejaksaan Tinggi NTB sejak 18 juli tahun 2022, terkait adanya konspirasi jahat yang mengakibatkan kerugian Negara. Diminta Kejati NTB menyita dokumen yang berkaitan dengan dua paket proyek ini," pungkasnya.
Terkait anggaran yang silfa yang diduga nihil, awak media ini masih berupaya konfirmasi dengan pihak terkait hingga berita ini dirilis. (As)
Posting Komentar
Posting Komentar