Pasca Keputusan PT Sumbawa Timur Mining (STM) untuk menghentikan sementara aktivitas eksplorasi di wilayah lingkar tambang Dompu memicuh berbagai spekulasi di tengah masyarakat. Salah satu alasan utama yang mencuat adalah adanya kendala administratif dan perizinan yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Beberapa laporan mengungkapkan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara rencana kerja perusahaan dengan regulasi yang berlaku. Hal ini diduga menjadi pemicu utama penghentian sementara kegiatan eksplorasi. Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang potensi pelanggaran aturan dan dampaknya terhadap masyarakat serta lingkungan sekitar.
"Saat ini pihak STM tengah mengajukan permohonan Alih Fungsi kawasan ribuan hektar untuk pembuangan limbah tailing namun permohonan perizinan itu masih menunggu arahan dan kebijakan Pemerintah Pusat, karena ranahnya Menteri," sebut narasumber yang enggan disebut namanya.
Kontroversi alih fungsi hutan lindung?
Berdasarkan hasil penelitian tiga Mahasiswa Fakultas Hukum yakni Eduard Awang Maha Putra dari Fakultas Hukum, Universitas Bumigora, Mataram, Fathul Hamdani, Fakultas Hukum, Universitas Dr. Soetomo, Surabaya, dan Lalu Muhammad Azwar, Fakultas Hukum, Universitas Mataram.
Dari penelitian Eduard Awang Maha Putra, Fathul Hamdani, dan Lalu Muhammad Azwar dilakukan pada Agustus 2023. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji rencana alih fungsi hutan lindung seluas 5.300 hektare di Kabupaten Dompu, NTB, menjadi tempat pembuangan limbah tambang (tailing) oleh PT Sumbawa Timur Mining.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi, seperti Undang-Undang Kehutanan dan Permen LHK No. 6 Tahun 2021, hanya mengizinkan pembuangan limbah di fasilitas bendungan khusus atau laut dengan standar tertentu, bukan di kawasan hutan lindung. Berdasarkan perspektif hukum perizinan, pemberian izin untuk alih fungsi ini dinilai tidak memenuhi prinsip kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Peneliti merekomendasikan agar pemerintah menolak permohonan tersebut demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai Sumber Dikutip Realism: Law Review Volume 2 Nomor 2 Agustus 2024. Silahkan berkunjung https://journal.sabtida.com/index.php/rlr/issue/view/6
Sebelumnya, konflik antar warga lokal dengan pihak STM sempat memanas hingga berujung insiden pembakaran pos jaga milik STM.
Konflik sosial di sekitar area tambang juga menjadi sorotan. Masyarakat lingkar tambang kerap mengeluhkan berbagai potensi dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan, seperti pencemaran air, kerusakan hutan hingga lahan pertanian serta penurunan kualitas hidup. Situasi ini memicu ketegangan antara masyarakat dan perusahaan, sehingga mendesak pemerintah daerah untuk bertindak lebih tegas dalam mengawasi aktivitas tambang.
Lantas Bagaimana dengan trend Investasi proyek Hu'u?
Informasi yang dihimpun menunjukkan tren investasi pada Proyek Huu dari 2011 hingga 2023, serta proyeksi kapitalisasi untuk lima tahun ke depan (2024–2028). Selama periode 2011–2023, total investasi mencapai 495 juta US$, dengan peningkatan bertahap dari 4 juta US$ pada 2011 hingga puncaknya 66 juta US$ pada 2023, meskipun terdapat fluktuasi di beberapa tahun.
Untuk periode 2024–2028, rencana investasi menunjukkan peningkatan signifikan, dimulai dari 86 juta US$ pada 2024 hingga 166 juta US$ pada 2028. Namun, realisasi rencana ini bergantung pada keputusan jaminan investasi yang akan ditentukan pada 2024. Secara keseluruhan, data ini mencerminkan komitmen strategis perusahaan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan pengembangan Proyek Hu'u.
Sementara pihak STM dikonfirmasi via elektronik belum memberikan tanggapan, namun masih diupayakan untuk konfirmasi lebih lanjut hingga berita ini di publis. (Alon)
Posting Komentar