Rakyat Terhimpit di Balik Tunggakan KUR, Harapan yang Berubah Menjadi Beban. 

KM Bali 1 Dompu,– Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, baru-baru ini menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang penghapusan piutang macet bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kebijakan ini mencakup sektor-sektor seperti pertanian, perkebunan, peternakan, hingga kelautan, memberikan angin segar bagi pelaku usaha yang selama ini kesulitan melunasi utang mereka.

Namun, di balik kebijakan progresif ini, nasib para debitur Kredit Usaha Rakyat (KUR) masih menjadi sorotan. Program pinjaman permodalan yang awalnya dirancang untuk mendukung pengembangan UMKM justru kini menjadi beban berat, terutama bagi mereka yang terdampak perlambatan ekonomi dan kondisi usahanya merosot. 

Tunggakan KUR: Jalan Terjal Para Pelaku Usaha

Banyak pelaku UMKM kini berada di persimpangan antara harapan dan kenyataan pahit. Salah satunya adalah Eko (35), seorang peternak sapi Asal Woja, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Berbekal pinjaman KUR senilai Rp15 juta, ia berharap dapat mengembangkan usahanya melalui program penggemukan sapi. Namun, keterbatasan pasar dan meningkatnya biaya operasional membuat Eko terjerat utang yang tak kunjung terbayar.

“Sudah beberapa tahun terakhir ini utang saya tetap Rp15 juta. Pendapatan dari sapi malah tak cukup untuk membayar cicilan,” keluh Eko, Minggu (8/12).

Cerita serupa juga, Sumarni (47), seorang penjual kue tradisional, meminjam Rp 20 juta untuk memperluas usahanya. Namun, daya beli masyarakat yang menurun tajam membuat usahanya justru menyusut. "Penjualan makin turun, cicilan tetap jalan. Saya hanya bisa pasrah," ujar Sumarni dengan nada pilu.

Petani jagung seperti Rusnadin (45) juga mengeluhkan tekanan yang sama. Harga jagung yang anjlok membuatnya kesulitan menutup angsuran pinjaman. “Bukannya maju, utang malah menumpuk,” katanya.

Solusi yang Diharapkan

Meski beberapa bank menawarkan program restrukturisasi berupa perpanjangan tenor atau pengurangan bunga, solusi ini dianggap hanya bersifat sementara. Banyak pelaku usaha mendambakan kebijakan yang lebih nyata, seperti penghapusan sebagian utang, pemberian subsidi tambahan, atau pendampingan usaha yang berkelanjutan.

"KUR ini semestinya jadi alat bantu, bukan jebakan utang," ungkap Slamet. Ia menilai pemerintah perlu lebih responsif terhadap kondisi pelaku UMKM yang berada di bawah tekanan finansial, apalagi di tengah kondisi ekonomi mereka yang merosot.

Mewujudkan Pemulihan Ekonomi

Kasus tunggakan KUR ini menjadi cerminan bahwa pemulihan ekonomi tidak cukup hanya difokuskan pada kebijakan makro. Rakyat kecil, terutama pelaku UMKM, perlu menjadi prioritas utama dalam perumusan solusi ekonomi yang berkelanjutan.

Diharapkan, pemerintah mampu melibatkan seluruh pihak terkait, termasuk perbankan, dalam menciptakan kebijakan relevan dengan kondisi lapangan. Tanpa langkah konkret, KUR yang awalnya diharapkan menjadi penyokong usaha justru akan terus menjadi beban yang menghimpit mereka yang berjuang di bawah. (Alon) 

Posting Komentar

Posting Komentar

 
Top