Oleh: [Fauzi Wahyudin,S.I.Kom,.M.Sos.]  
Dosen Pendidikan Anti Korupsi, STAI AL-AMIN Dompu.

Dompu, kmbali1.com - Korupsi merupakan fenomena sistemik yang tidak hanya menyentuh aspek legal formal, tetapi juga telah berakar dalam kultur dan sistem sosial kita. Berdasarkan laporan Transparency International (2023), Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang mencerminkan masih rendahnya integritas dalam tata kelola publik. Fakta ini menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak bisa hanya bertumpu pada aspek penegakan hukum semata, melainkan harus dibarengi dengan strategi pencegahan jangka panjang melalui pendidikan, khususnya pendidikan anti korupsi.

Sebagai dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) AL-AMIN Dompu, saya memandang bahwa urgensi pendidikan ini sangat tinggi. Ia tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyadaran normatif, tetapi juga sebagai proses pembentukan karakter, etika, dan komitmen moral individu dalam berinteraksi secara sosial, berpolitik, berkontribusi dalam ekonomi, dan taat pada hukum.

Dimensi Sosial: Rekonstruksi Budaya Antikorupsi

Korupsi tumbuh dalam lingkungan sosial yang permisif terhadap penyimpangan. Praktik-praktik kecil seperti pemberian “uang pelicin” seringkali dianggap lumrah, bahkan dibenarkan atas nama efisiensi birokrasi. Inilah bentuk banalitas korupsi yang berbahaya. Pendidikan anti korupsi harus mampu mendekonstruksi pembenaran-pembenaran sosial ini dan menggantinya dengan nilai-nilai antikorupsi yang dapat diinternalisasi sejak dini.

Sebagaimana ditegaskan oleh Mochtar Lubis (1977), salah satu karakter masyarakat Indonesia adalah "munafik", dalam arti kerap mempertontonkan nilai luhur secara verbal, namun tidak mengaplikasikannya dalam tindakan. Di sinilah pendidikan memainkan peran untuk menjembatani diskrepansi nilai dan perilaku.

Dimensi Politik: Membangun Etika Kekuasaan

Politik adalah ruang kekuasaan yang paling potensial menjadi ladang korupsi. Fenomena politik uang dalam pilkada, transaksi jabatan, dan intervensi elit terhadap kebijakan publik, adalah potret buram dari praktik politik yang koruptif. Pendidikan anti korupsi harus membekali mahasiswa dengan etika politik yang berpihak pada rakyat dan menjunjung tinggi nilai keadilan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kofi Annan, mantan Sekjen PBB: *"Korupsi adalah penyakit yang menghancurkan tatanan demokrasi dan supremasi hukum, menghambat pembangunan, dan memperdalam kemiskinan."* Maka, pendidikan tidak boleh netral terhadap praktik politik yang merusak.

Dimensi Ekonomi: Mencegah Ekonomi Biaya Tinggi

Korupsi berdampak langsung terhadap efisiensi dan pemerataan ekonomi. Ia menciptakan ekonomi biaya tinggi, menggerus anggaran publik, dan menciptakan ketimpangan. Menurut data BPK RI (2022), negara kehilangan lebih dari Rp 42 triliun akibat kasus korupsi dalam proyek-proyek infrastruktur dan pengadaan barang. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan anti korupsi juga harus diarahkan pada aspek literasi fiskal, pengelolaan anggaran, dan akuntabilitas ekonomi publik.

Dimensi Hukum: Menegakkan Supremasi Hukum yang Adil

Dalam perspektif hukum, korupsi tergolong sebagai extraordinary crime karena daya rusaknya terhadap sistem sosial dan kepercayaan publik. Namun, di tingkat pelaksanaannya, hukum kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Pendidikan anti korupsi harus melatih sensitivitas mahasiswa terhadap keadilan substantif dan hak warga negara dalam proses hukum. Ini juga mencakup kesadaran hukum progresif yang berpihak pada keadilan sosial, bukan sekadar formalitas prosedural.

Refleksi Pribadi: Pendidikan Anti Korupsi sebagai Gerakan Moral

Saya meyakini bahwa pendidikan anti korupsi bukan sekadar kurikulum, tetapi merupakan gerakan moral yang harus didukung oleh keteladanan nyata dari seluruh elemen bangsa. Penguatan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, keberanian menolak penyimpangan, serta sikap kritis terhadap kebijakan publik, harus menjadi jiwa dari setiap proses pendidikan.

Aktualisasi nilai-nilai ini menuntut dosen, pejabat, hingga tokoh masyarakat untuk tidak hanya mengajar, tetapi juga menunjukkan konsistensi integritas dalam kehidupan nyata. Dalam konteks lokal seperti Kabupaten Dompu, yang masih menghadapi berbagai problem tata kelola anggaran dan pengelolaan sumber daya alam, pendidikan anti korupsi menjadi fondasi penting dalam upaya transformasi daerah menuju pemerintahan yang bersih dan berdaya saing.

Penutup

Pendidikan anti korupsi adalah investasi sosial jangka panjang. Ia berperan strategis dalam mencegah lahirnya pelaku korupsi baru dan memperkuat integritas bangsa. Kita tidak boleh hanya bergantung pada penindakan hukum, karena membangun kesadaran dan karakter jauh lebih penting untuk mencegah korupsi dari akar. Sebab, bangsa yang cerdas adalah bangsa yang tidak hanya mampu berpikir kritis, tetapi juga memiliki moralitas tinggi dalam bertindak.

---

Tentang Penulis:
Fauzi Wahyudin,S.I.Kom.,M.Sos. adalah dosen  di STAI AL-AMIN Dompu dan pengampu mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi. Aktif dalam pengembangan pendidikan karakter dan kajian isu tata kelola publik berbasis nilai-nilai Islam dan integritas sosial.

---

Referensi:

1. Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index Report.  
2. Kementerian Keuangan RI. (2022). Laporan Pengawasan dan Evaluasi Anggaran Nasional.  
3. BPK RI. (2022). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2022.  
4. Mochtar Lubis. (1977). Manusia Indonesia.  
5. Annan, Kofi. (2003). Address on the International Anti-Corruption Day, United Nations.

Posting Komentar

 
Top