Oleh: Julkifli, Ketua Buruh, Tani dan Nelayan, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) NTB.
Di balik kemilau emas, tembaga, nikel, dan berbagai hasil tambang yang menopang perekonomian global, tersembunyi luka besar di tubuh bumi: kerusakan hutan, tercemarnya lingkungan, dan tergilasnya kehidupan masyarakat lokal. Aktivitas pertambangan, baik legal maupun ilegal, menjadi salah satu penyumbang kerusakan lingkungan terbesar di dunia. Hutan tropis yang dahulu menjadi paru-paru dunia kini berubah menjadi lahan gersang, sumber air bersih tercemar, dan udara mengandung partikel logam berat yang berbahaya bagi kesehatan.
Dampak pertambangan tak hanya menimpa hutan dan lingkungan fisik. Masyarakat sekitar, termasuk petani, masyarakat adat, hingga nelayan di pesisir, menjadi korban nyata dari eksploitasi ini. Kehilangan mata pencaharian, konflik sosial, hingga gangguan kesehatan menjadi kenyataan pahit yang harus mereka telan. Dalam tulisan ini, penulis akan mengulas secara mendalam kerusakan akibat tambang di berbagai negara, termasuk Indonesia, dan menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat direnggut oleh ambisi industri ekstraktif.
Dampak Global: Kerusakan yang Tak Mengenal Batas
Secara global, industri pertambangan telah lama menjadi kontributor utama dalam deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta perusakan habitat satwa liar. Studi yang diterbitkan dalam Nature Communications (2020) mengungkapkan bahwa sekitar 11% dari semua tambang di dunia berada di dalam atau dekat dengan kawasan lindung. Bahkan, aktivitas tambang di wilayah Amazon Brazil telah menyumbang kerusakan signifikan dengan membuka lebih dari 1,3 juta hektare hutan hanya dalam dua dekade terakhir.
Di Republik Demokratik Kongo, pertambangan kobalt untuk kebutuhan industri baterai kendaraan listrik menyebabkan pencemaran air berat di Sungai Lualaba. Laporan dari Amnesty International menunjukkan bahwa limbah tambang membuat air tidak layak konsumsi, mengakibatkan tingginya angka penyakit kulit dan pencernaan di kalangan penduduk. Lebih dari itu, laporan tersebut mengungkap adanya eksploitasi pekerja anak di lokasi tambang.
Begitu pula di Filipina, wilayah-wilayah seperti Surigao dan Palawan mengalami degradasi lingkungan akibat tambang nikel dan emas. Pencemaran air menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Studi oleh University of the Philippines menyatakan bahwa 60% nelayan di wilayah tambang melaporkan penurunan hasil laut sejak beroperasinya tambang.
Indonesia: Negeri yang Kaya Sumber Daya, Tapi Miskin Perlindungan Lingkungan
Indonesia adalah rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Namun ironisnya, Indonesia juga menjadi negara dengan tingkat deforestasi tercepat. Salah satu penyebab utamanya adalah aktivitas pertambangan. Dalam riset yang dilakukan oleh Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) tahun 2022, disebutkan bahwa 58,2% deforestasi hutan tropis Indonesia dalam dua dekade terakhir disebabkan oleh pertambangan.
Kerusakan Hutan
Laporan dari Auriga Nusantara dan WALHI mencatat bahwa dari 9 juta hektare izin tambang yang dikeluarkan di Indonesia, lebih dari 2 juta hektare berada di kawasan hutan lindung. Di Kalimantan Timur, tambang batu bara telah merusak ratusan ribu hektare hutan. Banyak bekas lubang tambang tidak direklamasi dan menjadi danau beracun yang menelan korban jiwa anak-anak yang bermain di sekitarnya.
Pencemaran Sungai dan Laut
Kasus pencemaran Sungai Bahodopi di Morowali, Sulawesi Tengah, akibat pertambangan nikel merupakan salah satu contoh nyata. Nelayan di daerah tersebut kehilangan penghasilan karena air keruh yang menyebabkan ikan menjauh atau mati. Menurut laporan Mongabay Indonesia (2023), pendapatan nelayan menurun hingga 70% sejak beroperasinya tambang nikel di wilayah tersebut.
Di Teluk Kao, Halmahera, aktivitas pertambangan nikel oleh perusahaan asing juga menyebabkan pencemaran laut yang mengancam biota laut dan kesehatan masyarakat. Nelayan setempat, dalam wawancara dengan Kompas.id, mengaku hanya bisa menangkap setengah dari jumlah ikan yang biasa mereka dapatkan.
Konflik Sosial dan Hilangnya Penghidupan
Pertambangan juga kerap menimbulkan konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal. Di Kabupaten Weda, Maluku Utara, konflik agraria terjadi karena klaim sepihak perusahaan atas tanah ulayat masyarakat adat. Ketidakjelasan status lahan menyebabkan masyarakat tersingkir dan kehilangan sumber mata pencaharian. Sering kali suara mereka tenggelam oleh kekuatan modal dan perlindungan negara terhadap investor.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2022 terdapat lebih dari 200 konflik agraria terkait pertambangan, sebagian besar terjadi di kawasan hutan dan pesisir yang menjadi sumber penghidupan warga.
Kasus Spesifik: Tambang STM di Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu
Kecamatan Hu’u di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, menjadi salah satu contoh paling aktual tentang potensi kerusakan lingkungan akibat rencana eksploitasi tambang. PT Sumbawa Timur Mining (STM), yang merupakan anak perusahaan dari Vale SA dan Antam, saat ini mengelola proyek tambang emas dan tembaga di Blok Onto, Hu’u.
Alih Fungsi Hutan dan Kekhawatiran Ekologis
Usulan alih fungsi hutan seluas 5.300 hektare untuk mendukung aktivitas pertambangan di Hu’u telah menimbulkan protes dari aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat. Hutan tersebut selama ini menjadi penyangga ekosistem lokal dan sumber air bagi pertanian dan peternakan masyarakat. Bila dibuka untuk tambang, maka akan berisiko besar pada siklus air dan kesuburan tanah di sekitarnya.
Suara Warga: Belum Ada Manfaat Nyata
Dalam wawancara media lokal seperti Satonda Post, sejumlah tokoh masyarakat menyatakan kekecewaan terhadap PT STM yang dinilai belum memberikan kontribusi konkret terhadap kesejahteraan warga. “Kami kehilangan hutan yang selama ini menjadi tempat mencari madu, kayu, dan sumber air. Tapi hingga kini tidak ada kepastian lapangan kerja atau bantuan nyata dari perusahaan,” ujar seorang tokoh adat.
Warga lainnya juga mengeluhkan ketidakjelasan informasi terkait rencana reklamasi, dampak lingkungan jangka panjang, dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Bahkan nelayan di pesisir Hu’u mulai khawatir akan dampak sedimentasi dan pencemaran air laut akibat pembukaan lahan tambang yang dekat dengan aliran sungai ke laut.
Mitigasi Lingkungan: Antara Janji dan Realita
Perusahaan tambang sering kali menyatakan telah melakukan upaya mitigasi, seperti reklamasi, revegetasi, dan program tanggung jawab sosial. Namun, efektivitasnya sering kali dipertanyakan. Studi oleh LIPI (kini BRIN) tahun 2021 menemukan bahwa hanya 38% dari perusahaan tambang di Indonesia yang benar-benar melakukan reklamasi sesuai ketentuan.
Begitu pula program corporate social responsibility (CSR) sering tidak menyentuh kebutuhan utama masyarakat. Beberapa warga hanya menerima bantuan simbolis, sementara dampak ekologis dan sosial jangka panjang dibiarkan.
Jalan Keluar: Tambang Berkelanjutan atau Moratorium?
Untuk menghadapi krisis ini, diperlukan langkah serius dan menyeluruh. Beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
1. Peninjauan Kembali Izin Tambang: Izin-izin yang berada di kawasan hutan lindung, pesisir, atau dekat pemukiman harus dievaluasi ulang.
2. Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL: Analisis dampak lingkungan harus melibatkan masyarakat terdampak secara aktif, bukan hanya formalitas administratif.
3. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Lingkungan: Perusahaan yang terbukti merusak lingkungan harus dikenai sanksi tegas, termasuk pencabutan izin.
4. Diversifikasi Ekonomi Lokal: Wilayah dengan potensi pertambangan harus diberikan alternatif ekonomi seperti agrowisata, pertanian organik, atau perikanan lestari.
5. Moratorium Tambang di Kawasan Rawan Bencana: Mengingat banyaknya tambang di wilayah rentan, seperti daerah aliran sungai, moratorium harus diberlakukan.
Kerusakan lingkungan akibat pertambangan bukan sekadar soal rusaknya pohon atau tercemarnya air. Ini adalah persoalan hidup-mati bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada alam. Tambang memang memberikan kontribusi ekonomi, tetapi ketika ia merampas hutan, mencemari laut, dan menghilangkan mata pencaharian warga, maka manfaat ekonominya patut dipertanyakan.
Kasus-kasus di Brasil, Kongo, Filipina, hingga Kecamatan Hu’u di Indonesia membuktikan bahwa aktivitas pertambangan kerap kali menjadi ironi: menggali kekayaan dari perut bumi, tapi menyisakan kemiskinan dan kehancuran di permukaan. Sudah saatnya negara dan perusahaan menempatkan keberlanjutan dan keadilan ekologis sebagai prioritas utama dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebab jika bumi terluka, maka semua makhluk yang bergantung padanya ikut menderita.(KM)
Posting Komentar