
Oleh: Sarwon Al Khan, Dompu
SEJAK mendengar informasi bahwa Ahmad Ikliluddin terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Periode 2025-2030, saya sempat berpikir dari mana harus memulai tulisan ini. Kok, saya harus berpikir? Bukankah ini sudah menjadi “makanan-minuman” saya setiap hari?
Bukan semata-mata karena pria yang biasa kami panggil Iklil atau Lop terpilih sebagai ketua. Terlebih dalam Konferensi Provinsi (Konferprov) PWI Bumi Gora di Hotel Lombok Garden Mataram, 2-3 Agustus 2025, dia mampu mengungguli seniornya, eks bosnya, juga salah seorang Ahli Pers dari NTB, H. Abdus Syukur.
Lebih dari itu. Sebagai nakhoda yang masih energik dan segar, Iklil merupakan tumpuan baru asa tegaknya profesionalisme, integritas, dan marwah PWI NTB. Tumpuan harapan PWI NTB bermartabat dan berkualitas. Pun para pengurus maupun wartawan-wartawan yang berhimpun di dalamnya.
Disamping itu, tulisan ini juga sebagai otokritik buat penulis sendiri, PWI NTB maupun anggotanya.
Saya sendiri mulai menjalani profesi (menjadi) wartawan sekitar pertengahan 1997. Baru menjadi anggota PWI NTB, mengantongi kartu keanggotaan, dan masuk dalam Buku Putih pada awal-awal era 2000-an.
Buku Putih merupakan buku yang memuat daftar anggota PWI NTB. Nama orang, nama media, dan nomor keanggotaan tercantum di sana, sebagai bukti bahwa kami anggota yang bernaung di organisasi PWI.
Namun, mulai sekitar tahun 2006/2007 saya “pisah ranjang” dengan PWI. Tidak pernah “cerai” (keluar) dan tidak pernah “menikah” (bergabung) dengan organisasi wartawan/jurnalis lain.
Hanya saja, selama ini tidak pernah mengurus atau memperbarui lagi kartu keanggotaan sampai sekarang.
“Pisah ranjang” saya dengan PWI berawal dari hilangnya kartu keanggotaan dan kartu liputan dari sejumlah lembaga. Antara lain, dari Lombok Post, Polda NTB, Korem 162 Wira Bhakti, dan Pemprov NTB.
Kepemimpinan beberapa Ketua PWI NTB pernah saya ikuti. Mulai dari Agus Hamim, H. Ismail Husni, H. Achmad Sukisman Azmy, hingga H. Nasrudin Zein, dan kini Ahmad Ikliluddin.
Roda organisasi dalam kepemimpinan mereka berputar bagus, kompak dan solid. Nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan dan persatuan yang ditanamkannya, juga luar biasa. Demikian pula sinergitas dengan pengurus di tingkat bawah, kabupaten dan kota, berjalan baik.
Tetapi beberapa catatan perlu mendapat perhatian dan digarisbawahi oleh Ahmad Ikliluddin sebagai nakhoda baru PWI NTB bersama jajaran pengurus. Meminimalisir kesan maupun stigma minor publik terhadap organisasi PWI dan sebagian anggotanya.
Harapan umumnya, gigi Iklil lebih tajam, lebih bernyali dalam memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak wartawan secara nyata, komprehensif dan berkesinambungan.
Memberikan perhatian sebagaimana mestinya. Melakukan advokasi, pendampingan, pembelaan, dan pembantuan (jika ada) wartawan yang tersandung persoalan hukum. Tentunya terkait kerja-kerja jurnalistik, bukan urusan pribadi dan keluarganya.
Hindarkan kesan bahwa PWI menjadi wadah bagi oknum-oknum pengurus atau atau anggotanya untuk mencari keuntungan pribadi.
Satu hal lagi. Di bawah kepemimpinan Iklil, PWI diharapkan lebih kreatif dan berinovasi lagi dalam mencari dana-dana untuk kegiatan organisasi. Minimalisasi kesan PWI sebagai organisasi yang paling rajin mengajukan proposal ketika hendak menggelar suatu kegiatan.
Misalnya, bisa melalui bekerja sama dan berkolaborasi dengan pihak swasta, perusahaan-perusahaan. Atau, dengan sponsor-sponsor yang sifatnya tidak mengikat, dan memengaruhi wartawan dalam menulis berita serta menjalankan fungsi kontrol sosialnya.
Sekali lagi, itu kesan minor. Itu stigma miring. Seyogianya Iklil sebagai ketua “baru” PWI NTB, Iklil bersama semua komponen pengurus dan anggota, menjawab dengan upaya riil untuk meminimalisirnya. Bila perlu menghilangkannya.
Ungguli Senior
Fakta yang tersajikan, awalnya ada tiga calon yang hendak memperebutkan posisi ketua PWI NTB. Yakni H. Nasrudin Zein (incumbent dan Ahli Pers), H. Abdus Syukur (wartawan senior NTB dan Ahli Pers), dan Ahmad Ikliluddin (General Majager Radar Lombok).
Namun, Nasrudin yang merupakan Ketua PWI NTB 2020-2025, memilih mundur dari pencalonan usai menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)-nya.
Sehingga, hanya Syukur dan Iklil yang berkompetisi dalam suksesi kepemimpinan organisasi wartawan tertua di tingkat Provinsi NTB itu. Keduanya kemudian dipersilakan menyampaikan visi dan misi di hadapan peserta.
Diketahui, Syukur dan Iklil bukan orang “jauh”. Mereka pernah punya hubungan sangat erat. Itu saat keduanya sama-sama bekerja di Koran Harian Lombok Post. Syukur menjabat Pemred, Iklil sebagai Kepala Biro di Kabupaten Lombok Tengah.
Di Konferprov NTB mereka bersaing untuk meraih dukungan mayoritas. Hasil pemilihan melalui sistem voting, Iklil mendapat dukungan terbanyak dari peserta Konferprov. Dari 106 suara, Iklil meraih 64 suara, Syukur 40 suara, dan dua suara tidak sah.
Siapakah Ahmad Ikliluddin?
Ahmad Ikliluddin lahir dan besar di Desa Kabar, Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur. Tak banyak yang menyangka pemuda desa itu kini terpilih sebagai ketua PWI NTB, setelah menjadi wartawan, redaktur, direktur, hingga General Manager di salah satu media berpengaruh di NTB.
Informasi yang saya himpun, karier jurnalistik Iklil dimulai di Harian Mataram News (Lombok Post Group), 2000. Karena dinilai memiliki potensi luar biasa, 2003 dia ditarik masuk ke Harian Lombok Post, koran terbesar di NTB saat itu.
Iklil menjajal hampir semua desk liputan. Dari hukum dan kriminal, politik, konflik sosial, bahkan isu-isu sensitif di sektor pertambangan, dan lainnya. Dia wartawan lapangan sejati, tidak banyak bicara tapi tulisan-tulisannya akurat, lengkap, dan kerap menjadi rujukan banyak pihak hingga nasional.
Salah satu karya investigasi yang mengangkat namanya, pengungkapan kasus pembunuhan Sumiati, gadis muda asal Desa Lebah Sempaga, Lombok Barat.
Sumiati diduga menjadi korban kekerasan oleh majikannya. Liputan investigatif Lop membongkar berbagai kejanggalan dan fakta yang luput dari penanganan awal. Kasus ini menyeret majikan Sumiati ke meja hijau hingga divonis penjara, meskipun kemudian dibebaskan di tingkat Peninjauan Kembali (PK).
Pengungkapan kasus pembunuhan Sumiati menjadi bagian penting dalam keberanian media lokal mengungkap ketidakadilan struktural, dan Iklil menjadi salah satu motor utamanya.
Dia berani, tidak takut diancam. Tapi keberaniannya bukan nekat. Apalagi bar-bar dan menganggap dirinya wartawan hebat. Dia didukung data, fakta, dan logika dalam setiap tulisan (laporan/berita)-nya.
Tak lama setelah ditarik Lombok Post 2003, Iklil dipercaya sebagai Kepala Biro Lombok Post Lombok Tengah 2004, berpindah ke Post Metro (Lombok Post Group) 2004–2009, Kepala Biro Lombok Post Sumbawa Barat 2009, promosi sebagai Redaktur Pelaksana Radar Lombok 2015.
Kemudian pada 2017 diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Radar Lombok, sebagai Pimpinan Perusahaan Radar Lombok 2019-2024, Direktur Radar Lombok 2024, dan terakhir ditunjuk sebagai General Manager Radar Lombok hingga sekarang.
Iklil aktif dalam organisasi profesi wartawan dan media. Dia anggota tetap PWI, dan menjadi pengurus teras Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi NTB.
Kerap menjadi narasumber pelatihan jurnalistik, juri lomba penulisan, hingga pembicara pada seminar komunikasi di kampus-kampus. Kepeduliannya terhadap media digital dan literasi pers menjadikannya penghubung penting antara jurnalisme klasik dan era siber.
Siap Kembalikan Marwah PWI, Kepemimpinan Kolektif Kolegial
Keputusan Iklil maju sebagai calon Ketua PWI NTB bukan semata-mata karena ambisi pribadi, tapi panggilan jiwa untuk mengembalikan marwah PWI di daerah ini. “Saya maju karena panggilan jiwa, Bang,” katanya pada penulis, Senin (4/8/2025) siang tadi.
“Saya merasa terpanggil karena banyak sahabat dan senior menyampaikan keprihatinan tentang PWI NTB. Organisasi ini harus kembali ke jalur profesionalisme dan integritas. Marwahnya harus dikembalikan,” tegasnya ketika menjawab pertanyaan wartawan sebelum suksesi ketua PWI NTB.
Dia bahkan secara gamblang menilai, PWI NTB selama ini kehilangan daya inovasi dan komunikasi. Ketimpangan antara pusat dan daerah, kurangnya pelibatan generasi muda, hingga minimnya adaptasi teknologi.
Sesuai harapannya, sekarang Iklil telah terpilih sebagai ketua PWI NTB. Di organisasi ini, dia akan menerapkan kepemimpinan kolektif kolegial. Semua pengurus harus diperankan secara aktif. Tidak ada dominasi tunggal. Setiap kebijakan organisasi diambil melalui musyawarah.
“Saya ingin pengurus harian PWI ke depan tidak hanya jadi pelengkap struktural. Semua harus punya peran dan fungsi. Harus aktif, harus ada kontribusi nyata,” ujarnya.
Anda sudah terpilih sebagai ketua, mau dibawa ke mana PWI NTB kedepan?
Seiring dengan visi besarnya, “Semangat Kolektifitas Membangun PWI NTB yang Berkualitas”, Iklil menyebut tiga pilar perubahan sebagai program strategisnya.
Pertama, Penguatan Kapasitas Anggota dan Kesejahteraan. Ada pelatihan jurnalistik, literasi digital, jurnalisme data, keamanan siber, hingga pelatihan daring berbasis platform PWI. Juga akan memperkuat advokasi hukum dan keselamatan wartawan.
Kedua, Solidaritas Lintas Generasi dan Daerah. Caranya, membangun komunikasi antaranggota di semua kabupaten/kota. Disamping menghidupkan kembali PWI di daerah-daerah dengan program nyata dan kaderisasi yang adil.
Ketiga, Transformasi Digital. Iklil ingin mengintegrasikan teknologi ke dalam sistem kerja dan manajemen organisasi, menyediakan kanal distribusi digital resmi bagi anggota, serta meningkatkan pemahaman terhadap SEO, AI, algoritma, dan tools digital lainnya.
Untuk mewujudkan dan menyukseskan berbagai rencana, harapan, dan program tersebut, Iklil mengharapkan kerja sama dan peran aktif semua pengurus maupun anggota PWI dari provinsi hingga kabupaten dan kota.
“Mari kita kembalikan PWI NTB yang berwibawa. Dihormati bukan karena jabatan, tapi karena karya. Dan, itu hanya bisa tercapai kalau kita bekerja bersama-sama,” ajaknya. (*)