
Dompu, kmbali1.com – Polemik lahan pelepasan ternak kembali mencuat di Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Pasalnya, sejumlah titik yang masuk dalam kawasan khusus padang gembala mulai digarap bahkan diduga sudah disertifikat oleh oknum petani.
Kondisi ini menimbulkan keresahan para peternak, sebab puluhan ribuan hewan ternak terancam kehilangan akses merumput di padang penggembala di lokasi itu.
Dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, lahan pelepasan ternak di Pekat ditetapkan seluas 3.634 hektar. Batas wilayahnya meliputi Sungai Jembatan Hodo I di bagian timur, Jalan Raya Kempo–Pekat dan Hutan Produksi Gunung Tambora di utara, Teluk Saleh di selatan, serta Sungai Sori Tula di barat.
Meski sudah ada payung hukum yang jelas, ulah segelintir petani justru berlawanan dengan aturan. Beberapa titik lahan tersebut dikabarkan telah disertifikatkan secara pribadi.
Ketua Tani Tenak So Owo Desa Sori Tatanga, Kecamatan Pekat, Amiruddin mengungkapkan puluhan hektar lahan di sekitar Hodo, tepatnya di Sarangge Duwe dan Parangga Nae, kini dikuasai petani. Sebagian besar sudah di pagar untuk persiapan musim tanam tahun 2025.
“Kalau sudah dikuasai seperti itu, ternak kesulitan turun minum. Ini bisa membahayakan kelangsungan hidup ribuan ternak,” kata Amiruddin dengan nada resah.
Kondisi tersebut berpotensi memicu gesekan antara petani dan peternak. Tanpa langkah cepat pemerintah maupun instansi terkait, konflik agraria dikhawatirkan kembali berujung pada tragedi seperti beberapa tahun silam.
Selain areal seluas 3.634 hektar di bawah Perda, kawasan Usaha Tani Lestari (UTL) juga ditetapkan sebagai areal pelepasan ternak dengan luas 3.500 hektar.
Manejer UTL, Muhdar menegaskan lahan tersebut bukan untuk digarap maupun disertifikatkan, melainkan murni sebagai padang gembala masyarakat sesuai kesepakatan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan DLHK Provinsi NTB sejak 2019.
“Itu kan wilayah UTL, bukan untuk digarap apalagi diklaim. Sejak awal kami serahkan untuk kebutuhan ternak masyarakat,” tegas Muhdar, via WhatsApp Senin (29/9).
Sekretaris Himpunan Peternak Doro Ncanga, Syamsurizal, juga membenarkan hal itu. Menurutnya, proposal kerja sama antara peternak dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup telah disetujui sejak lama.
“Permintaan kita sudah di-acc, jadi statusnya jelas sebagai lahan ternak,” ujar Syamsurizal. Senin (29/9).
Ia mengungkapkan, mayoritas petani yang menggarap lahan tersebut berasal dari Desa Taa, Kecamatan Kempo. Namun, sejauh ini belum ada data pasti berapa luas lahan yang telah disertifikatkan. “Meluasnya garapan oknum petani di sana sangat meresahkan,” tambahnya.
Hasil penelusuran kmbali1.com, data yang diperoleh tembus 1.000 hektar di lokasi itu sudah digarap oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Lestari Alam Tambora. Dengan anggota sekitar 733 orang, masing-masing petani memperoleh jatah garapan sekitar 2 hektar.
Situasi ini memperlihatkan peliknya persoalan tata kelola lahan di wilayah Tambora dan sekitarnya. (Alon)