
DOMPU, KMBali1.Com – Sejumlah konflik sosial antar warga yang kerap terjadi di wilayah lingkar tambang ternyata sebagian besar dipicu oleh persoalan rekrutmen tenaga kerja yang tidak adil. Bentuk konflik yang muncul, seperti pemblokiran jalan hingga perkelahian antar warga, diduga berakar dari kecemburuan sosial akibat proses perekrutan karyawan oleh PT. Sumbawa Timur Mining (STM) yang dinilai tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal secara adil dan transparan.
Hal ini disampaikan oleh Anhar (50 th), warga salah satu desa di Kecamatan Hu’u, yang menyebut bahwa sejak awal kehadiran PT. STM, ketimpangan dalam perekrutan tenaga kerja sudah terasa dan menjadi pemicu ketegangan horizontal di tengah masyarakat.
“Kehadiran PT STM itu bikin kekacauan masyarakat dari Desa Adu sampai Nangadoro. Karena rekrut karyawan itu tidak adil,” ujar Anhar dalam wawancaranya, Kamis (27/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa banyak tenaga kerja yang direkrut oleh perusahaan justru berasal dari luar daerah, bahkan dari kalangan keluarga dan kolega internal perusahaan.
“Tenaga-tenaga yang dibawa oleh mereka itu adalah konco-konconya mereka, keluarga-keluarga dari pimpinan-pimpinan yang masuk dalam struktural PT STM. Dan itu bukan warga lokal,” tegasnya.
Padahal, lanjut Anhar, masyarakat Kecamatan Hu’u memiliki sumber daya manusia yang layak dan terlatih untuk terlibat dalam kegiatan pertambangan. Ia menyebut banyak sarjana teknik pertambangan dan tenaga terampil lokal yang justru diabaikan.
“Seakan-akan orang lokal ini tidak ada sumber dayanya. Padahal ada banyak sarjana pertambangan di sini. Tapi dikesampingkan,” katanya.
Kondisi ini menurutnya telah menimbulkan kecemburuan sosial dan konflik kecil antarwarga. Warga merasa diperlakukan tidak adil di tanah mereka sendiri, sementara pihak luar justru memperoleh keuntungan dan kesempatan kerja.
Selain masalah rekrutmen, Suddin (60 th) Warga salah satu Desa di Kecamatan Hu’u ini juga menyoroti dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan. Ia menyebutkan bahwa petani di sekitar tambang kini tidak lagi bisa menanam tiga kali setahun karena aliran sungai yang biasanya digunakan untuk irigasi telah berkurang volumenya. Warga menduga Aliran sungai telah dialihkan untuk keperluan pengeboran tambang.
“Sungai Hu’u di Dam Sambana airnya diambil untuk kebutuhan bor PT STM. Sekarang petani sudah tidak bisa menanam tiga kali seperti dulu,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga mempertanyakan efektivitas dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang diklaim PT. STM sebesar Rp. 24 Miliyar. Menurutnya, dana sebesar itu tidak terlihat dampaknya secara nyata di masyarakat.
“Kalau dana 24 miliar itu dibagi rata ke delapan desa, masyarakat sudah hidup sejahtera. Tapi nyatanya, tidak terasa sama sekali,” ungkap Suddin.
Warga berharap pemerintah daerah dan lembaga pengawas segera turun tangan melakukan audit menyeluruh terhadap proses rekrutmen tenaga kerja dan penggunaan dana CSR oleh PT. STM. Mereka menuntut keterbukaan informasi, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lingkar tambang.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT. STM belum memberikan tanggapan resmi atas berbagai keluhan yang disampaikan warga Kecamatan Hu’u.[KM02]